Minggu, 19 Juni 2011

10 Tahun OTSUS : Pemberdayaan Perempuan Papua ?!

Dewasa ini seluruh masyarakat di Indonesia lebih khusus Papua masih mengalami “krisis” oleh dampak situasi ekonomi global yang ‘dilematis’ dan ‘sulit’. Dilematis karena diperhadapkan pada tidak adanya pilihan alternatif yang “lebih baik”, lebih-lebih setelah kenaikan harga BBM yang mengakibatkan melonjaknya harga berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat serta meningkatnya tarif angkutan dan jasa, sementara di lain pihak tingkat pendapatan masyarakat khususnya “masyarakat asli Papua” di pedesaan / kampung-kampung belum banyak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini mengakibatkan “melemahnya daya beli” masyarakat asli Papua. Walaupun telah diberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) dengan alokasi dana pembangunan yang cukup besar dibandingkan tahun-tahun lalu namun maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang masih dilakukan oleh birokrat-birokrat di Papua yang “nyaris” tak tersentuh hukum menyebabkan masyarakat Papua khususnya kaum Perempuan Papua di pedesaan / kampung hanya menjadi “obyek” semata dan tidak banyak mengalami perubahan ekonomi yang cukup berarti bahkan kondisinya semakin “terpinggirkan”.
Diakui bahwa masyarakat Papua dikelilingi potensi SDA yang besar, namun potensi tersebut ternyata belum banyak memberikan dampak ekonomi yang berarti bagi masyarakat Papua di sekitarnya secara khusus kaum Perempuan Papua. Banyak persoalan yang masih dihadapi oleh Masyarakat Papua khususnya kaum Perempuan Papua untuk mengelola dan memanfaatkan potensi tersebut, diantaranya kurangnya pengetahuan dan ketrampilan, serta belum adanya organisasi ekonomi yang betul- betul tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat ( Lembaga Ekonomi Berbasis Masyarakat / LEBM ) yang mampu bersaing di era persaingan bebas ini.
LEBM secara lebih baik, sehingga akan dapat mewujudkan sebuah institusi ekonomi lokal yang kuat, mapan dan mandiri. Hal lain yang memprihatinkan terjadi adalah adanya realitas di Daerah Papua (baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat) khususnya di Kabupaten Fakfak yang paling banyak ‘diberatkan’” adalah “Kaum Perempuan Papua”. Dengan beban kerja yang ‘super berat’’ (mengurusi berbagai urusan keluarga dan rumah tangganya) sering kali kaum Perempuan Papua juga dituntut untuk “berusaha” mencari nafkah atau tambahan penghasilan demi mencukupi kebutuhan keluarganya tersebut. Dengan tingkat pendidikan yang minim bahkan ada yang belum sempat mengenyam pendidikan formal membuat mereka kesulitan untuk bersaing di era Pasar (persaingan) bebas. Belum lagi mereka diperhadapkan pada “opini umum” dalam tatanan tradisional masyarakat Papua bahwa kaum Perempuan Papua adalah “kaum kelas dua”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar